Rumah Nomor 237
Cerita ini bermula ketika Andra, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Arsitektur, sedang mencari inspirasi untuk tugas akhir. Ia tertarik dengan bangunan tua yang memiliki nilai historis dan arsitektur unik. Lewat rekomendasi dosen, ia mendengar tentang rumah nomor 237.
“Ada rumah tua Belanda yang belum terjamah di Desa Pasir Manggu. Tidak banyak yang berani ke sana, tapi bangunannya masih kokoh,” kata Pak Harto, dosennya.
Andra, tertantang. Bersama dua sahabatnya, Rian dan Dimas, mereka melakukan perjalanan ke desa tersebut. Warga desa menyambut mereka dengan ramah… sampai mereka menyebut hendak menginap di rumah nomor 237.
Wajah warga desa pun berubah menjadi pucat.
“Jangan ke sana, Nak. Itu bukan tempat untuk manusia,” ujar seorang ibu tua dengan suara bergetar.
Tapi Andra dan teman-temannya menganggap itu hanya mitos. Anak muda zaman sekarang, pikir mereka, tak seharusnya takut pada cerita hantu.
Dan merekapun nekat pergi ke rumah itu.
Hari Pertama: Suara dari Dinding
Rumah 237 terlihat megah namun kusam. Cat mengelupas, jendela berdebu, dan pintu utamanya seperti belum dibuka selama bertahun-tahun. Saat mereka membuka pintunya, terdengar derit panjang yang menembus tulang belakang. Angin dingin langsung menyambut.
Malam pertama, mereka tertawa-tawa sambil merekam video. Dimas bahkan sempat membuat vlog dengan candaan:
“Ini dia, rumah penuh misteri. Kalau saya hilang besok pagi, berarti setannya nggak suka saya ngevlog!”
Namun malam itu, jam 2 pagi, terdengar suara ketukan dari dinding.
Tok… tok… tok…
Rian terbangun. Ia mendekati dinding dan mendengar bisikan pelan, “Bukan waktumu…”
Pagi harinya, Rian pucat. Ia bilang tak bisa tidur karena merasa ada yang mengawasinya. Andra menganggap itu sugesti. Tapi mereka mulai merasakan hal aneh: kompas mereka berputar liar, ponsel kehilangan sinyal, dan semua jam tangan berhenti pukul 02.37.
Hari Kedua: Cermin dan Rahasia
Di ruang utama, mereka menemukan sebuah cermin besar tertutup kain merah. Dimas, yang usil, membuka kain itu sambil tertawa. Tapi cermin itu tidak memantulkan bayangan mereka—hanya ada ruangan kosong di dalamnya, seolah menunjukkan versi lain dari rumah itu.
Tiba-tiba, Rian berteriak. Ia mengaku melihat dirinya sendiri di dalam cermin… tapi dalam kondisi mati.
Hari itu, mereka menemukan dokumen tua di laci lemari. Surat-surat Belanda kuno, dan satu foto keluarga dengan anak perempuan kecil yang wajahnya dicoret hitam. Di belakang foto tertulis: “Tertinggal di antara dua dunia. Jangan bangunkan dia.”
Andra mulai merasa pusing dan mengalami mimpi buruk yang sama: dirinya dikunci di dalam peti dan dikubur hidup-hidup.
Hari Ketiga: Menghilang
Dimas menghilang.
Mereka mencarinya seharian. Hanya menemukan kamera vlogging miliknya di depan cermin, menyala… tapi hanya menampilkan rekaman kakinya diseret oleh sesuatu yang tak terlihat ke dalam tembok.
Rian ingin kabur. Tapi saat mereka mencoba membuka pintu depan, rumah itu tak lagi memiliki jalan keluar. Di luar, hanya kabut putih. Jendela berubah menjadi tembok, dan GPS menunjukkan lokasi mereka bukan di bumi… tapi di koordinat yang tak dikenal.
Hari Keempat: Waktu Terbalik
Andra menemukan catatan harian pemilik rumah: seorang arsitek Belanda bernama Willem Van Hoorn. Dalam jurnalnya, ia menulis:
“Anakku meninggal karena penyakit demam berdarah. Tapi aku tak terima. Aku bangun rumah ini sebagai penghubung. Dengan ritual dari Timur, aku buka jalan agar jiwanya tak pergi. Tapi dia tak pulang sendiri…”
Setelah ritual itu, rumah menjadi labirin waktu. Mereka yang masuk akan terjebak dalam pusaran dimensi, berputar dalam mimpi buruk milik si anak kecil yang kehilangan arah.
Jam berhenti, hari tak berubah, dan rasa lapar menghilang. Waktu di rumah itu bukan ilusi… tapi kutukan.
Andra akhirnya paham satu hal: rumah ini butuh pengganti. Jiwa seseorang harus tinggal agar rumah membuka pintu keluar.
Ia dan Rian bertengkar hebat. Siapa yang harus tinggal? Dalam kekacauan, Rian pingsan. Saat ia sadar, ia sudah berada di luar rumah… sendirian.
Andra mengorbankan dirinya.
Rian kembali ke kota. Namun, trauma mengikutinya. Ia menjadi gila, berteriak setiap malam menyebut nama Andra dan Dimas. Ia menggambar rumah nomor 237 di setiap dinding kamarnya… lengkap dengan koordinat.
Tiga bulan kemudian, polisi menemukan tubuh Rian gantung diri dengan tulisan di tembok:
“Aku harus kembali. Rumah itu memanggilku.”
No comments