Breaking News

Cerita Cinta Menyentuh - Pertemuan Tak Terduga di Saat Hujan

Ada satu hal yang mungkin aneh, tapi entah kenapa aku masih melakukannya sampai sekarang: setiap pagi, aku beli dua potong roti isi. Satu aku makan, satu lagi aku simpan. Bukan buat bekal siang, bukan buat orang rumah. Aku juga enggak ngerti kenapa, tapi rasanya... kayak ada yang ngganjel kalau cuma beli satu. Udah lima tahun kayak gitu.

Aku Nayla. Seorang guru honorer di sekolah dasar swasta kecil. Gajiku cukup, hidupku biasa aja, dan ya… sepi. Tapi bukan itu yang pengen aku ceritain.

Setiap pagi, aku lewat halte tua yang udah jelek banget, kayunya retak-retak, catnya udah kusam. Tapi anehnya, selalu ada satu orang di sana. Cowok. Umurnya mungkin enggak jauh beda sama aku. Duduk diam, kadang baca buku, kadang bengong sambil mantengin langit. Aku enggak pernah ajak dia ngobrol. Tapi aku perhatiin. Iya, aku perhatiin.

Dia kayak... nunggu sesuatu. Atau seseorang.

Sampai suatu hari, hujan turun deras banget. Warung roti tempat aku biasa beli tutup. Aku tetep lewat halte itu, karena udah terbiasa. Dan dia masih di sana. Duduk, kuyup, diem aja. Aku enggak tahan. Aku dekati. Kutarik roti yang pagi-pagi iseng aku masukin ke tas (yang bahkan bukan dari warung biasa), dan aku kasih ke dia.

Dia liat aku, agak kaget. Tapi matanya... kosong.

“Makan. Nanti sakit,” kataku. Sederhana aja. Aku juga bingung kenapa bisa ngomong gitu.

Dia ambil roti itu pelan. “Terima kasih,” katanya singkat.

Pas aku mau pergi, dia bilang sesuatu yang bikin aku berhenti.

“Kamu percaya takdir?” suaranya pelan, serak.

Aku menoleh. “Enggak tau. Kenapa?”

“Aku nunggu seseorang di sini. Dia janji bakal datang. Tapi udah lima tahun... dia enggak pernah muncul.”

Aku diem. Nggak tahu harus ngomong apa. Aku cuma angguk pelan, lalu lanjut jalan. Tapi setelah hari itu, aku mulai mikir: lima tahun? Bukannya aku juga udah lima tahun beli dua roti tiap pagi?

Hari demi hari, aku mulai sering ngobrol sama dia. Namanya Arga. Dia penulis. Dulu katanya. Sekarang enggak nulis lagi. Katanya karena hatinya kosong. Ditinggal seseorang. Setiap tanggal lima, dia selalu ke halte itu, duduk nunggu. Siapa yang dia tunggu, aku enggak pernah tanya. Takut.

Tapi entah kenapa, aku makin sering duduk di sebelahnya. Kadang enggak ngobrol apa-apa, cuma duduk, denger suara hujan, atau liat mobil lalu-lalang.

Suatu hari, dia pingsan. Di depan sekolah tempat aku ngajar. Panik lah aku. Bawa dia ke klinik, nelpon orang rumah, semua.

Waktu dia sadar, dia panggil nama lain. “Tiara…”

Deg.

Aku enggak kenal siapa itu. Tapi… jujur, nama itu… kayak familiar. Kayak pernah aku denger. Di mimpi? Di masa lalu?

Dokter bilang, dia pernah kecelakaan. Trauma. Memori sebagian hilang, campur aduk. Tapi satu nama yang dia pegang terus: Tiara.

Malam itu, aku bongkar semua laci, buka kotak-kotak yang udah berdebu. Dan di sana… aku nemuin surat. Dari aku. Untuk Arga. Ada juga foto. Aku dan dia. Di halte itu. Aku... Tiara?

Aku nangis.

Semua mulai masuk akal. Kecelakaan yang aku alami lima tahun lalu. Ingatan yang ilang. Nama yang aku ganti karena trauma. Tapi ada satu hal yang gak pernah hilang: kebiasaan beli dua potong roti setiap pagi. Mungkin bagian kecil dari aku, yang masih inget.

Dan dia… nunggu aku lima tahun?

Tanggal lima bulan berikutnya, aku datang ke halte lebih awal. Bawa dua potong roti. Dan surat. Surat yang baru aku tulis semalam. Tentang kenangan, tentang hujan, tentang hati yang hilang tapi nggak pernah sepenuhnya pergi.

Dia datang. Seperti biasa. Tapi kali ini dia liat aku lebih lama.

Aku kasih surat itu. Dia baca. Lama. Tangannya gemetar.

Lalu dia liat aku. Dan bilang...

“Tiara...”

Aku senyum. Air mataku jatuh.

“Iya. Aku pulang, Ga.”

Cerita ini mungkin biasa. Tapi buat aku, ini nyata. Tentang roti yang gak pernah aku ngerti kenapa selalu aku beli dua. Tentang hujan yang selalu bikin aku berhenti. Tentang cinta… yang tetap menunggu meski lupa nama.

No comments