Breaking News

Cerita Cinta Menyentuh - Rasa yang Tak Pernah Kupahami

Aku tidak pernah tahu seperti apa rasanya jatuh cinta yang sesungguhnya. Selama ini, bagiku, cinta hanyalah sebuah kata yang sering muncul di novel dan drama Korea. Klise. Terlalu dibuat-buat. Tapi semua anggapanku itu hancur ketika aku bertemu dengan Aira.

Perempuan itu datang seperti angin. Tak terduga, tak direncanakan. Aku hanya seorang pegawai biasa di sebuah kafe kecil pinggiran kota. Pekerjaanku membuat kopi, mengelap meja, menyapa pelanggan dengan senyum seadanya. Hidupku datar. Sampai Aira muncul — duduk di pojokan, dekat jendela, dengan buku catatan dan headphone.

Hari pertama, dia hanya memesan teh tarik dingin dan duduk selama dua jam. Tidak bicara, tidak menoleh. Tapi aku memperhatikan. Dan entah kenapa, saat dia pergi, ada ruang kosong di benakku.

Hari kedua, dia datang lagi. Kali ini memesan latte hangat. Aku beranikan diri bertanya, “Belajar untuk ujian?”

Dia mengangguk, sedikit senyum. “Semacamnya. Nulis cerita.”

“Penulis?”

“Bukan,” katanya sambil tertawa pelan. “Pengen jadi. Tapi masih bingung sama rasa.”

Aku mengernyit. “Rasa?”

Dia menatapku, agak serius. “Rasa cinta. Gimana rasanya? Aku nggak ngerti. Susah nulis cinta kalau nggak pernah ngerasain.”

Itu awalnya.

Sejak hari itu, kami bicara lebih sering. Aira ternyata bukan sekadar gadis pendiam yang suka duduk di pojokan. Dia penuh cerita. Tentang masa kecilnya di desa. Tentang keluarganya yang tidak mengizinkannya pacaran. Tentang bagaimana dia menolak tiga laki-laki karena katanya hatinya belum bergetar.

Setiap hari, aku jadi penikmat obrolan kami. Dan diam-diam, aku mulai mengerti. Bukan tentang cinta — tapi tentang dia.

Aku jatuh. Tanpa sadar, tanpa perencanaan. Seperti daun yang gugur tanpa tahu angin dari mana datangnya.


Sampai suatu hari, Aira tidak datang.

Hari itu hujan. Kafe sepi. Setiap pintu terbuka, aku refleks menoleh. Tapi bukan dia. Bahkan esoknya, dan besoknya lagi, dia tak muncul.

Seminggu. Dua minggu. Aku mulai gelisah.

Lalu, seperti adegan film, dia datang. Basah kuyup, tanpa payung, langsung menuju meja biasa.

“Aku tahu sekarang,” katanya sebelum aku sempat bertanya.

“Tahu apa?”

“Rasa itu.”

Aku diam.

“Aku tahu kenapa aku nggak bisa nulis cerita cinta,” lanjutnya. “Karena aku nggak ngerti apa itu kehilangan.”

Aku menelan ludah. Hujan di luar mengguyur lebih deras.

“Aku pikir kamu bakal tetap di situ, setiap hari. Tapi saat kamu nggak ada, aku ngerasa... kosong. Dan ternyata, itu cinta.”

Aku mendekat pelan. “Aku juga ngerasain yang sama.”

Aira menatapku. Air matanya bercampur hujan. “Kamu mau jadi tokoh utama di cerita cintaku?”

Aku tersenyum. “Ya asalkan kamu jadi tokoh utama di hidupku juga.”


Tamat

No comments