Pulang Tengah Malam - Part 1
Malam itu hujan turun deras. Petir menyambar tanpa ampun, seolah langit marah. Raka baru saja selesai lembur di kantornya. Jam menunjukkan pukul 00.47 WIB ketika ia akhirnya memutuskan untuk pulang.
“Kenapa harus hujan sekarang sih…mana gede banget lagi” gumamnya sambil mengenakan jas hujan. Kantornya terletak di kawasan industri yang sepi. Jalanan yang akan ia lalui sangat panjang, gelap, dan diapit oleh kebun bambu serta area pemakaman tua.
Raka mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Jalanan licin dan sepi membuatnya merasa tidak nyaman. Hanya suara hujan yang menemani, diselingi suara bambu berderak tertiup angin.
Ketika melewati kebun bambu yang terkenal angker, tiba-tiba mesin motornya batuk-batuk dan mati.
“Waduh… jangan sekarang, please…mana udah malam lagi” Raka panik. Ia mencoba menghidupkan mesin berulang kali, tapi tidak berhasil. Ia turun dari motor, memeriksa tangki bensin—masih penuh.
Saat itulah ia mendengar suara tawa lirih.
Bukan suara manusia biasa. Tawa itu panjang, melengking, dan terdengar jelas dari dalam kebun bambu di sebelah kanan jalan.
“Ha… ha… ha… ha…”
Raka menelan ludah. Bulunya berdiri. Ia tahu, tidak ada rumah atau kampung di sekitar sini. Kebun bambu ini terkenal angker karena katanya sering ada penampakan perempuan berambut panjang.
“Ah… mungkin cuma suara angin,” pikirnya, mencoba menenangkan diri. Tapi tawa itu semakin keras… semakin dekat.
Raka buru-buru menaiki motornya dan mencoba menyalakan mesin lagi. Kali ini berhasil. Ia menghela napas lega dan langsung memacu motornya kencang.
Namun ketika melintasi jalan berkelok, ia merasakan ada yang duduk di jok belakang motornya. Motornya terasa jauh lebih berat dari sebelumnya. Ia mencoba melirik melalui kaca spion… tapi spionnya penuh dengan rambut panjang yang menutupi seluruh pandangan.
“Ya Tuhan…” Raka hampir pingsan. Ia bisa merasakan nafas dingin di tengkuknya.
Ia memacu motornya sekencang mungkin, berusaha tidak menoleh ke belakang. Tapi sosok itu berbisik pelan tepat di telinganya:
“Pelan-pelan bang… nanti kita bisa jatuh…”
Raka keringat dingin. Jalan yang biasanya ia lewati hanya 10 menit terasa semakin panjang dan tidak ada habisnya. Ia seperti berputar-putar di tempat yang sama. Setiap kali melewati pohon besar di pinggir jalan, ia merasa itu pohon yang tadi lagi.
“Kenapa… nggak sampai-sampai ke pertigaan?!”
Tiba-tiba, dari arah depan, muncul sesosok perempuan mengenakan gaun putih lusuh, berdiri tegap di tengah jalan. Rambutnya panjang menutupi wajah. Darah menetes dari ujung jarinya.
Raka teriak sekencang-kencangnya dan mengerem mendadak. Tapi anehnya, sosok itu menghilang tepat sebelum ia menabrak.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya melihat lampu pertigaan yang ia kenal. Ia langsung belok ke arah rumah tanpa menoleh ke belakang.
Begitu sampai di rumah, ia memarkirkan motor dengan tangan gemetar. Ibunya yang sedang menunggu di ruang tamu kaget melihat anaknya pucat seperti mayat.
“Rak… kamu kenapa? Kok kayak habis lihat hantu?”
Raka hanya diam. Ia masih bisa merasakan dinginnya napas makhluk itu di tengkuknya. Saat ia membuka jas hujan… ada bekas tangan basah yang sangat besar mencengkram punggungnya.
Sejak malam itu, Raka selalu pulang sebelum jam 10 malam. Ia tak pernah berani melewati jalan itu lagi. Namun kadang… ia masih bisa mendengar suara tawa lirih di telinganya setiap kali ia berada sendirian.
“Ha… ha… ha… ha…”
Dan ia tahu, makhluk itu masih mengikutinya… entah sampai kapan.
Bersambung...
No comments