Breaking News

Aku Bukan Pilihan, Hanya Pelarian

Malam itu langit mendung, angin menusuk, dan entah kenapa hatiku ikut terasa dingin. Di layar ponselku muncul satu nama yang sudah familiar yaitu Vina.

Dia meneleponku lagi, seperti biasa. Dan seperti biasa pula, aku tahu isinya pasti tangisan. Bukan tangisan karena aku, tapi karena laki-laki yang dia cintai... yang lagi-lagi menyakitinya.

Jar... aku capek. Kenapa sih aku selalu disakitin? Dia datang ke tempat kita dulu, sama cewek lain. Aku lihat dengan mataku sendiri. Tapi aku malah nangis, bukan marah... dan sekarang aku malah minta dia jangan ninggalin aku... Aku bodoh banget ya jar?

Suaranya pecah.
Aku mendengarnya dalam diam, seperti ribuan malam sebelumnya.
Hatiku ikut hancur—bukan karena ceritanya, tapi karena aku tahu... dia tetap tak pernah melihatku.

Aku melompat dari kasur, pakai jaket seadanya, lalu menerobos hujan malam demi sampai ke kost-nya. Aku tahu dia butuh pelukan, butuh bahu, butuh kehadiran. Dan aku... selalu jadi orang pertama yang datang.

Sesampainya di sana, dia duduk di pojok kamar, menangis memeluk lutut. Aku mendekat, dan dia langsung memelukku. Lama. Hangat tubuhnya menggigil, air matanya membasahi pundakku.

Kamu tuh cowok paling baik, Jar... andai semua laki-laki kayak kamu…

Kalimat itu menyayatku.
Karena aku tahu, "baik" itu hanyalah label untuk orang yang tidak pernah dipilih.
Karena aku tahu, “kamu terlalu baik” adalah alasan halus untuk menyingkirkan orang yang benar-benar tulus.

Malam itu aku menemaninya tidur. Bukan tidur dalam pelukan kekasih. Tapi tidur dalam peran sebagai 'teman yang selalu ada'. Sementara aku menatap langit-langit, dengan satu pertanyaan dalam hati :

Kenapa bukan aku, Vin? Kenapa kamu buta terhadap cinta yang paling nyata di hidupmu?

Hari-hari berikutnya tetap sama. Dia datang padaku untuk menangis, tertawa, mengeluh, curhat. Tapi tidak pernah datang untuk mencintaiku.

Aku ada, tapi aku transparan.
Aku dekat, tapi aku asing.
Aku penting, tapi tak pernah cukup berarti.

Sampai pada suatu malam yang sunyi, aku memberanikan diri menulis pesan panjang. Aku tulis semua yang kupendam selama bertahun-tahun. Tentang rasa yang kutanam diam-diam, tentang harapan kecil yang tak pernah mekar.

Vin, aku tahu kamu selalu terluka. Dan aku tahu, kamu mencintai dia. Tapi tahukah kamu? Aku yang selalu mencintaimu, sejak lama. Aku ingin bahagiakan kamu, bukan hanya mendengarkan tangisanmu. Tapi aku ingin menjadi rumah bagimu, bukan hanya jadi tempat singgah…

Pesan itu kukirim pukul 02.34 dini hari. Jari-jariku gemetar. Aku tak berharap banyak, aku hanya ingin dia tahu. Aku hanya ingin dia sadar. Bahwa cinta yang paling dalam... sedang berdiri tepat di sampingnya.

Paginya, Aku hanya mendapatkan satu balasan :

Maaf ya, Jar... Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi sebagai teman aja. Aku nggak bisa lebih.

Mataku panas. Tapi aku tidak menangis.
Air mata seolah malu keluar, karena hatiku sudah terlalu penuh untuk bisa dikuras lagi.

Aku hanya membalasnya dengan singkat, “Iya. Gak apa-apa, Vin.

Sejak saat itu aku pun mulai menjauh. Bukan karena benci, tapi karena aku ingin menyembuhkan diriku sendiri. Aku ingin berhenti menjadi tempat saat ia menangis, tapi tertawa bersama orang lain.

Tapi tahukah kamu?
Dia tak pernah mencariku.
Tak pernah menanyakan kenapa aku menghilang.
Tak pernah merasa kehilangan. Karena nyatanya… aku tak pernah benar-benar ada di hatinya.

Bulan berganti tahun. Kini aku hanya bisa melihat fotonya lewat Instagram, tersenyum dengan seseorang yang baru. Mungkin dia sudah benar-benar bahagia. Dan aku? Aku masih mencoba menyembuhkan hatiku sendiri... yang pernah remuk karena terlalu berharap pada cinta yang tak pernah memilihku.

Sore itu aku duduk sendiri di bangku taman. Tempat di mana kami dulu sering bercanda. Angin berhembus lembut, membawa kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.

Aku menutup mata dan menarik napas dalam-dalam, dan berkata dalam hati:

Aku yang selalu ada… tapi tak pernah dipilih. Tapi hari ini, aku memilih diriku sendiri.

 Aku pun melangkah pelan menembus angin taman dan ku buang semua kenangan dan harapan, kini semua ku coba untuk lupakan dan melangkah maju menata masa depan.

No comments